Lanjutan ceritaku selama dolanan di Jogja, monggo silakan…
Jam menunjukkan pukul 18.40, kami masih berada di area
wisata Candi Prambanan. Setelah shalat maghrib dan makan kami bersiap
melanjutkan perjalanan menuju Malioboro.
“ Yuk berangkat, udah mulai rame tuh di jalan, nanti kita
keluarnya susah. “ ajak Om Husen.
“ tar dulu Om, pop mie Uci belum abis.. “ kata Uci sambil
sibuk melahap pop mie.
“ udah.. sambil jalan aja juga bisa.. “ celetuk Zahra. Uci
terus saja melahap pop mie miliknya.
Sepupu-sepupuku udah pada makan walaupun cuma pop mie,
sedangkan aku abis shalat maghrib cuma ngopi. Sengaja aku gak makan, karena
nanti pasti makan di lesehan-lesehan. Sedap !
“ Mbah gantian ya ikut mobil sini “ ujar Mbah sambil naik ke
mobil yang aku tumpangi.
Bener saja apa yang dibilang Om Husen, mobil kami baru
berjalan sebentar, sudah terlihat antrian kendaraan panjang menuju area luar
parkir Candi Prambanan.
Hampir kira kira 15
menit mobil kami akhirnya keluar area parkir dan sudah berada di jalan utama.
“ Malioboro deket apa jauh nih dari sini? “ tanyaku
penasaran.
“ Gak terlalu jauh sih mi, cuman gak tau nih jalanan macet
apa nggak. Kalo macet lumayan lama juga sampenya.” Kata Pak Cemin sambil focus
memegang setirnya
Pulang ke Kotamu ada setangkup haru dalam rindu..
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat..
Penuh selaksa makna…
Dari Mp3 di Handphoneku, kuputar ulang terus lagu dari Katon
Bagoskara yang berjudul Jogjakarta. Terbayang ketika aku mengenal Kota Jogja
pertama kali, teringat impianku yang penasaran ingin mengunjungi Jogja. Dan
Alhamdulillah, keinginan itu terwujud.
Memasuki pusat Kota Jogja, kutengok ke belakang adek dan
mbah hanyut terlelap. Ayah dan Dhani (anaknya Pak Cemin) pun demikian. Cuma aku, ibuku sama Pak Cemin
(ya iyalah, dia yang nyetir) yang gak tidur. Aku asyik memperhatikan sekeliling
sepanjang jalan. Ibu sibuk sama hapenya pesbukan,dan Pak Cemin sibuk menyupir (pake diulang lagi).
Hampir selama 15 menit perjalanan, sepertinya kami mulai
memasuki pusat keramaian Jogja di malam hari. Itu terbukti dengan banyaknya
angkringan-angkringan ataupun warung lesehan di sepanjang jalan. Ayah yang
sedari tadi sudah bangun dari tidurnya memandang ke kanan-kiri jalan yang
dipenuhi orang-orang yang sedang asyik menikmati kuliner malam Jogja. Terlihat
jelas ayah sepertinya sudah lapar dan tergoda dengan mereka yang sedang memanjakan perutnya di luar.
“ Wah, rame banget tuh, ada apa tuh, pecel.. gudeg.. soto..
“
“ ntar dulu ayah, ntar juga makan di Malioboro”
“ mobil depan udah sampe mana ya? Ini kemana lagi arahnya? “
tanya Pak Cemin.
“ ini masih lurus, ntar ada Tugu ke kiri, Saya masih inget
ini waktu jemput Santi juga lewat sini ”
kata mbah sambil terus menatap ke depan jalan.
Terlihat jalanan mulai macet, penuh kendaraan roda empat dan
roda dua. Sepertinya didominasi oleh pengunjung yang sedang plesir ke Jogja
seperti kami. Tak heran, karena ini masih moment libur lebaran jadi wajar saja
jika ramai seperti ini.
“ Nah, itu bukan Tugunya? “ kata Pak Cemin sambil menunjuk
ke arah bangunan yang hanya ujungnya kelihatan dari kejauhan.
“ Mana? Ya itu bener, nanti itu pas lampu merah kita ke
kiri.” Kata mbah
“ Bu, kamera mana bu? Jangan sampai kelewatan gak difoto nih
! Yang Ami tunggu tunggu nih, ciri khas Kota Jogja ! “ kataku penuh antusias
sambil mencari letak kamera digital.
“ saya juga mau foto ah.. Dan, ntar fotoin ya tugunya ! kata
Pak Cemin sambil menyerahkan kamera digital miliknya ke anaknya.
Karena macet, cukup sulit juga untuk mengambil gambar Tugu
Jogja dari dekat, ingin rasanya aku turun dari mobil dan mengambil gambar
sepuasnya, tapi ragu-ragu.
Terlihat dari kejauhan lampu lalu lintas di perempatan jalan
menyala di warna hijau, antrian kendaraan mulai jalan. Aku sudah bersiap untuk
mengambil gambar Tugu Jogja yang ada di tengah-tengah perempatan jalan
tersebut, yang seakan-akan mengucapkan selamat datang di Kota Pelajar bagi para
pengunjung yang terpikat akan keindahan Jogja.
Sayangnya ketika melewati Tugu tersebut lampu lalu lintas
masih menyala di warna hijau sehingga mobil kami terus melaju, mau tidak mau
aku harus membidik gambar dengan tepat. Dan.. ini hasilnya
|
Kurang Sempurna Pemirsa |
Suara HP ayah berbunyi.
“ Halo To, udah sampe mana? “
Ternyata dari Le’ Wanto. Cukup lama ayah berbincang
dengannya. Le’ Wanto menghubungi ayah memberi tau bahwa mobil mereka sudah
parkir.
“ Wanto udah parkir, katanya penuh. Mobilnya parkir
dipinggir jalan jadinya. “
“ Deket mana yah? Di Malioboro? “ tanya ibu
“ katanya di pinggir jalan sebelum Malioboro, dia juga susah
parkir. Sempit terus rame“
“ Yaudah, jalan terus pak Cemin.. kita ikutin petunjuknya
aja “ Kata mbah.
Karena kami nggak tau jalan ke Malioboro dan ditinggal oleh
mobil yang satunya, satu satunya jalan untuk sampai ke sana adalah dengan
mengikuti papan penunjuk arah. Kami juga sesekali bertanya pada warga atau
pengunjung sekitar.
Lalu lintas pusat Kota Jogja benar-benar semerawut malam
itu. Kemacetan kendaraan hampir tak pernah luput dari pandanganku. Belum lagi
banyak mobil parkir di pinggir jalan yang mempersempit jalan.
Melewati stasiunTugu makin tak surut keramaian di Jalan,
tapi belum ada tanda-tanda kami sudah sampai di Malioboro. Kami terus jalan. Banyak
jalan ditutup menjadi satu arah oleh Polisi. Alhasil kami kebingungan dan lebih
parahnya kami selalu melewati jalan yang sama.
Aku mulai panik dan kesal, tak kunjung sampai Malioboro
sementara waktu terus berjalan hampir memasuki tengah malam. Tak henti-hentinya
Ayah ataupun Mbah menghubungi yang sudah sampai duluan tapi tetap saja kami
kebingungan.
Puncaknya, kamipun menyerah tak bisa ketemu mobil rombongan
Le’ Wanto.
“ Udah, tadi saya nelpon Santi kita ketemu pas keluar dari
Jogja aja. Rencana awal besok pulang ke Jakartnya dibatalin jadi malam ini. “
Apa? Cuma sebentar doang dong di Jogja L
“ Yaudah, ayo kita cari makan dulu, dari tadi pasti udah
laper “ sambung Mbah lagi.
“ Makan dimana nih? cari lesehan aja Pak ! “ kata ayahku
semangat.
Akhirnya kami gagal sampai di Malioboro. Kami malah
menuntaskan rasa lapar dengan makan di Lesehan di dekat Stasiun. Setelah itu aku tak lupa untuk membeli oleh-oleh
atau souviner. Yang tak boleh ketinggalan adalah Kaos dan makanan khas Jogja,
Bakpia.
|
cuma dapet 2 biji -___- |
Sebenernya aku masih mau melanjutkan ceritanya lagi, tapi
berhubung kalo diinget jadi timbul rasa nyesel lagi karena belum puas menikmati
Kota Jogja waktu itu.
Yah.. semoga saja nanti ada kesempatan lagi bisa mengunjungi
Jogja dan menikmati keindahannya lebih lama.
OH JOGJA, AKU TRESNO .. I’M IN LOVE WITH YOU…